ILUSI

Juara 1 Lomba Menulis CERPEN -Oleh Randi Handika Wijaya
Desain cover by Islamic Study Club

ILUSI

Tiada yang lebih monoton selain bunyi alarm setiap pagi membangunkan seorang anak kost yang dikenal sebagai pribadi mandiri. Tidak ada seorang pun yang bisa menjadi pengganti ibu selain alarm handphone dan kokok ayam di pagi hari. Tetapi, terkadang kesal datang apabila hanya mengandalkan suara si hewan pejantan tersebut dikarenakan sering kesiangan juga ia berkokok. 

Tangan seorang anak lelaki merogoh handphone yang sedari tadi berbunyi, tidak jauh dari tempat tidurnya sebuah gawai tersambung dengan kabel pengisi daya. Benda persegi berlayar tersebut diambilnya, waktu menunjukkan pukul 05:00, waktu yang pas untuk melaksanakan solat subuh sebelum sang mentari menyapa dengan kilauan cahaya. 

Lelaki itu berdiam sejenak merenungkan keajaiban dunia yang baru saja ia lalui, mimpi panjang yang sudah terekam di dalam ingatan seketika lenyap bagai garam di masukkan ke dalam air. Hanya rasanya yang ada tetapi entah kemana bentuknya. 
Tanpa disadari kegiatan merenung yang sering disebut waktu pengumpulan nyawa tersebut telah berjalan 15 menit. Lelaki itu lekas menuju kamar mandi untuk bersuci.

Pakaian sekolah telah rapih dikenakan, seragam putih abu-abu yang setahun lalu diberikan oleh sekolah tampak masih seperti baru. Walaupun ia seorang anak kost tetapi tidak membuatnya malas untuk menjadi rajin. 

Sebuah percakapan di moment lalu antara lelaki berseragam itu dan temannya. "Eh, menurut kamu jika kita rajin bermalas-malasan, kita termasuk orang yang rajin atau orang yang malas. Haha. "

Seperti biasa, perjalanan ke sekolah tidak begitu jauh. Cukup 5 menit menggunakan sepeda motor. Bangunan berwarna orange yang ia tempati berdinding satu dengan ruangan sebelahnya yang berwarna biru, kata orang itu adalah bedengan. Entahlah, yang jelas bagi lelaki tersebut bangunan tersebut adalah rumah yang menjadi tempat semua impian dan harapannya dalam tiga tahun di SMK menjadi nyata di kemudian hari. 

"Ranu..." Seorang gadis memanggil lelaki tersebut. 

Ranu menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang wanita berhijab putih melambaikan tangan dari kelas ujung. Entah apa yang dikatakan oleh gadis tersebut tetapi Ranu paham akan maksud dari lambaian tangan itu, kode untuknya supaya menghampiri. 

Ranu berjalan menuju si gadis, yang satu sekolah akrab memanggilnya Sisil. 

"Ada apa Sil?". Ranu semakin mendekat ke gadis yang berdiri di ambang daun pintu tersebut. 

"Nanti sore jadikan?". Tanya Sisil. 

"Jadi apa?" Ranu masih bingung akan pertanyaan tersebut. 

"Ah, masa lupa. Itu loh." Sisil memperagakan gerakan tangan seperti memegang gitar. 

"Oh itu, haha. Iya lupa." Ranu menggaruk belahan rambutnya yang tidak gatal tetapi itu adalah refleks terbaik yang ia berikan menunjukkan bahwa sang lelaki itu lupa dengan janjinya. 

"Jadi ya. Nanti jam 4 Sore di taman seberang kost-an kamu." Sisil melototi Ranu membuat kesepakatan tanpa pihak kedua. Ranu yang tidak enakan pun akhirnya setuju karena sudah terlanjur berjanji. 

Sesaat setelah moment pertunjutkan tatapan mata tajam tersebut, seketika seseorang datang menepuk pundak Ranu yang terbungkus tali tas. 

"Oi, Ranu." Itu adalah suara lelaki, tidak asing lagi untuk telinga Ranu dengan suara bulat tersebut. Dia adalah Kevin, sahabat dekat Ranu. "Pantesan belum masuk kelas dari tadi, rupanya masih di sini."
"Iya, tadi aku yang panggil Ranu untuk ke sini." Jawab Sisil. 

"Eh, ada kamu. Hai cantik." Ucap Kevin sembari membenarkan rambutnya yang tidak berantakan. 
"Ranu, Kevin, Sisil. Masuk kelas. Sekarang lagi mati lampu, bel tidak bisa berbunyi." Suara keras menggema terlantang dari seberang ruang kelas tempat mereka berdiri, semua murid juga turut berhamburan masuk ke kelas masing-masing.
 
"Jadi, apa saja yang kalian obrolin tadi? " Tanya Kevin sembari melangkahkan kaki di lorong kelas bersama Ranu. 

"Main gitar." Jawab Ranu singkat. 

"Oh itu, haha. Masih juga dia ingin belajar gitar dengan kamu."

"Sepertinya dia suka dengan kamu Nu, lihat aja modus yang selalu ia upayakan, waktu itu minta ditemenin beli sepatu, pergi ke toko buku, minta dianterin pulang, dan masih banyak lagi. Kukira itu semua usaha yang cukup sia-sia karena kamu tidak pernah mengikuti kemauannya." 

"Iya sih, tapi kali ini aku yang udah janji sama Sisil untuk mengajarinya main gitar." Jawab Ranu lagi.
"Itu sih harus dijalankan karena kamu udah janji.

 Haha, selamat menikmati suaranya yang begitu indah." Maksud Kevin untuk suaranya yang teramat cempreng, karena begitulah adanya rupa yang cantik pun tidak dengan suaranya. "Oh Tuhan Engkau menciptakan kami dengan bentuk yang sebaik-baiknya, sesungguhnya setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing."

 Sepotong kalimat Kevin sembari menadahkan tangan menatap ke langit-langit koridor sebelum melangkahkan kaki ke dalam kelas. 

***

16:05 WIB.

Siapa sangka jika waktu yang telah ditentukan adalah keterlambatan waktu itu sendiri, sudah lima menit Ranu menunggu Sisil di teras kosannya tetapi tidak juga hadir gadis berwajah cantik itu menampakkan diri. Merasa mulai bosan Ranu pun berdiri dari tempat duduknya, sebuah kursi plastik usang berwarna biru pudar. Selangkah kakinya menuju ke dalam. 

"Ranu..." Nada panjang Sisil, melambung di atas udara.

"Benar sekiranya perkataan Kevin sewaktu di sekolah tadi. Suara itu, memang merdu sekali.

 Seketika Ranu langsung berbalik badan memberi kode untuk menunggu di seberang sana, di bawah pohon manga, sebuah meja dan kursi kayu yang tertancap di tanah. Beberapa saat kemudian Ranu beranjak menyusul dengan sebuah gitar berwarna cokelat gelap di tangannya. Leher gitar itu dipegangnya dengan erat, bagai seorang gitaris andal yang sering pentas di sana sini. 

"Baiklah kita mulai dari lagu Peterpan, Semua tentang kita." Ucap Ranu dengan geliat tangannya yang lincah memetik satu persatu senar. Nada yang dihasilkan pun terdengar merdu, nyaring dan yang kali ini benar-benar enak didengar. 

Satu jam memang waktu yang relatif, antara lama dan cepat tergantung siapa dan apa yang sedang dijalani. Sepertinya wanita itu memang sedang modus kepada Ranu, hanya untuk menyempatkan waktu bersamanya. Seketika Ranu pun memberikan sebuah lagu berbahasa asing yang ia rasa memang harus keluar dari mulut Sisil. Tanpa disadari Sisil dengan mudah memposisikan jari jemarinya dengan chord yang cukup sulit untuk seorang pemula.

 Semakin yakin pula Ranu bahwa itu adalah akal Sisil belaka, sepertinya Sisil sudah mahir sejak lama bermain gitar tetapi hanya untuk dekat dengan Ranu ia rela bersikap seolah-olah tidak mengerti apa-apa. 

Ranu pun merenung memikirkan perkataan Kevin tadi pagi. Saat sedang memfokuskan diri untuk berpikir tiba-tiba Sisil menyanyikan sebuah lagu

 Can't Help Falling in Love-nya Elvis Presley. 
Wise men say
Only fools rush in
But I can't help falling in love with you
Shall I stay?
Would it be a sin
If I can't help falling in love with you.

Dua minggu setelah prosesi pemetikan gitar. 
Siang itu sesaat setelah jam pelajaran olahraga. Semua murid yang sekelas dengannya diberikan waktu untuk mengganti pakaian. Dalam waktu sekejab ruang kelas yang dipenuhi oleh siswa dirampas oleh para perempuan. Semua tabir yang terbentang ditutup dan dengan kekuatan solidaritas mereka saling berjaga untuk mengganti pakaian berbau keringat hasil berpanasan di lapangan tadi. 

Tidak tahu kenapa harus ruang kelas yang menjadi tempatntya, padahal sekolah itu sudah disediakan banyak toilet dan tempat yang cukup luas jika hanya untuk mengganti pakaian saja. Dan seperti biasa para kaum Adam terpaksa mengalah dan merelakan waktu istirahat di kelas berpindah keluar.

Ranu dan Kevin saat itu sedang duduk di kantin sekolah, membeli minuman dingin sebagai penghilang dahaga. Tiba-tiba seorang guru berpakaian serba cokelat menghampiri dengan raut wajah datar. 

"Ranu, ikut bapak sebentar." Beliau adalah pak Yudi, sang pembina OSIS yang kebetulan sedang piket pada hari itu.

Tanpa bertanya banyak Ranu pun beranjak mengikuti pak Yudi dan meninggalkan Kevin sendirian di kantin. 

"Ranu, kamu jangan panik barusan bapak dapat kabar dari pamanmu di kampung, ibumu..."

"Ibu kenapa Pak?" Pernyataan jangan panik tadi lupa dalam seketika. 

"Ibumu meninggal dunia." Ucap pak Yudi dengan nada pelan. 

Ranu tak lagi kuasa menahan air matanya, keringat yang masih menempel di kerutan dahinya turut menetes dan bercampur dengan aliran air jernih yang tak lagi bisa dibendungnya. 

Tanpa sepatah dua patah kata lagi, Ranu langsung berlari meninggalkan pak Yudi yang sedang berdiri di hadapannya. Ia berlari melewati lapangan menuju ke tempat parkiran sepeda motor. Dengan seragam olahraga berbau keringat Ranu langsung bergegas pulang ke rumah yang jaraknya satu setengah jam dari sekolah. Tanpa memikirkan tas, pelajaran dan apa yang barusan ia lalui. Pikirannya saat itu tidak karuan, semuanya terasa begitu bercampur aduk.

 Dalam perjalanan ia merasa tidak percaya sosok yang sangat ia sayangi selama ini telah pergi untuk selama-lamanya. 

Jalanan ramai pada siang hari itu dilaluinya seperti orang kebakaran jengot. Tidak dihiraukan lagi lampu merah diperempatan, untung saja tidak ada polisi yang berjaga pada siang itu. Semua lika-liku jalanan ia lewati dengan sangat cepat. 

Jarak yang selama ini ia tempuh dalam waktu satu setengah jam, siang itu Ranu melewatinya hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Betapa cepat kendaraan yang ia tumpangi, jika dilihat dari kondisinya Ranu adalah orang yang paling patah hati sedunia pada saat itu. Sesampai di rumah, halaman sudah penuh oleh para tetangga dan keluarga, tubuhnya yang berbau keringat langsung berlari menuju ke ruang tamu keluarga dan kesedihan itu semakin memuncah ketika ia melihat sang ibu telah berbaring dengan bagian tubuh tertutup kain. Tangis seorang Ranu pecah pada siang hari itu, tidak ada lagi sosok yang bisa menggantikan ibunya selama ini. 

Empat minggu telah terlewati, Ranu kembali berekolah lagi. Ia telah meninggalkan rumah yang sekarang dihuni oleh sang ayah dan adiknya yang berumur 12 tahun. Masa-masa menyedihkan untuk seorang laki-laki berusia 17 tahun itu. Tetapi ia tidak mungkin terus menerus diam di rumah dan tidak masuk kesekolah. 

Hari demi hari berlalu, rasa kehilangan itu masih mengganjal di dalam hatinya. Tidak bisa ia melupakan kenangan-kenangan indah bersama sang malaikat yang telah mengurusnya sedari kecil, yang tak lelah memberikan kasih sayang untuk dia dan sang adik. 

Ranu sesekali bisa melupakan sejenak moment indah bersama sang ibu saat ada kegiatan di sekolah bersama teman, tetapi semua itu terbayang terus menerus ketika ia sudah berada di ruangan kecil berukuran 4x5 meter yang selama ini menjadi tempat istirahatnya sehabis menempuh pendidikan di sekolah. 

Ketika memasak makanan selalu saja terbayang ibunya, sewaktu Ranu masih kecil ia selalu berdiri disamping ibunya yang sibuk menggoreng atau memasak sesuatu. Berdiri memperhatikan kuali yang sudah tak lagi putih karena ada beka gosong makanan di pinggirnya. 

Ranu selalu mengingat moment itu di setiap kesendiriannya, sudah sebulan lewat ia ditinggalkan oleh sang ibu tetapi rasa sedih masih membekas di dalam hatinya. Ia ingat terus dan terus saat-saat ia memakan masakan ibunya. Sewaktu Ranu sakit ia pernah dimasakkan pendap oleh ibunya, pendap atau ikan pais yaitu masakan khas provinsi Bengkulu. Rasa pedas gurih dan aroma daun talas di makanan tersebut bercampur dengan rasa hangat akan kasih sayang yang tulus diberikan oleh ibunya. 

Walau sebagai anak laki-laki ia sedari kecil lebih dekat dengan sang ibu, dikarenakan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Sedangkan ayahnya seorang pahawalan tulang punggung keluarga yang mencari nafkah untuk menyambung hidup dan biaya sekolah.  

Suasana kelas yang seperti pasar, orang-orang berseragam putih abu-abu bergerak ke sana kemari, mereka tampak begitu menikmati moment sekolah ini walaupun tampak wajah-wajah kecemasan mulai mengisi pandangan beberapa hari itu. Tidak lama lagi ujian sekolah akan dilaksanakan. Yang berarti semuanya harus dipersiapkan dari awal untuk mendapatkan nilai yang terbaik.

Pembelajaran dimulai. Pak Yudi selaku pembina OSIS di sekolah beliau juga merupakan seorang guru bahasa Indonesia. Pada hari itu tepat mendapatkan jadwal di kelas yang sering menjadi tempat Ranu dan kawan-kawan menuai kisah. 

"Bapak absen ya."

"Anisa."

"Hadir, Pak."

"Bagas,"

"Hadir."

Tiba giliran Kevin. "Kevin." 

"Hadir."

"Ranu." Pak Yudi menyebut nama anak laki-laki itu. Tetapi tidak ada jawaban satupun, wajahnya pun tiada nampak pada hari itu. 

"Ada yang tau Ranu kemana?"

"Tidak pak, sudah lima hari ini kami tidak menerima kabar kemana Ranu pak." Jawab Sarah, seorang sekretaris kelas. 

"Kevin, kamu tahu di mana Ranu?"

"Tidak pak, saya hubungi tidak aktif, dicari ke kosannya juga tidak ada."

"Ya udah nanti saya coba tanyakan ke guru yang lain kemana Ranu kok tidak masuk beberapa hari ini."

"Baik pak." Suara gema seisi kelas. 

Jam pelajaran pun usai. Waktunya istirahat. Pak Yudi bergegas menuju ke ruang guru menemui seorang guru kesiswaaan pak Zafi namanya, tetapi tidak mendapatkan jawaban, lalu pak Yudi menemui seorang guru BK bernama pak Sidiq. Tetapi tidak juga ada jawaban yang pasti kemana Ranu selama ini pergi. 

Pak Yudi pun pergi ke kelas memanggil Kevin. 
"Iya pak, ada apa?"

"Kamu tahu dimana Ranu ngekos?" tanya pak Yudi. 

Kevin menganggukkan kepala, tandnya ia tahu di mana kosan Ranu berada.
 
"Nanti sepulang sekolah antar bapak ke sana." 

"Siap pak."

Kring... Kring... Kring.... Bell pulang sekolah telah berbunyi. Seperti janjinya tadi Kevin pun menemui pak Yudi yang sudah siap berangkat menuju ke tempat kediaman Ranu. 

"Kevin, nanti kalau Ranu tidak ada di kostan, kita kerumahnya ya. Kamu tahu kan?"

"Iya tahu, pak. "

"Motor kamu tinggal di sekolah aja dulu titip sama penjaga sekolah, nanti kita pakai mobil bapak ke sana."

Kevin pun setuju, tanpa banyak bicara lagi sembari menunggu para siswa-siswi yang memadati gerbang menyusut dan bisa memberikan jalan untuk avanza silver milik pak Yudi bergerak keluar. 

"Kalian mau ke tempat Ranu?" Tiba-tiba entah dari mana datangnya makhluk itu. Sisil sudah berada tepat di samping Kevin. 

"I... Iya." Jawab Kevin terkejut. 

"Ikut boleh nggak?" Tanya Sisil. 

"Bilang ke pak Yudi, aku diajak soalnya." Jawab Kevin mengarahkan. 

"Pak, Sisil ikut ya." Dengan nada sedikit kencang ia berteriak ke pak Yudi yang sedang mengeluarkan mobil dari parkiran. 

Pak Yudi pun menyetujui permintaan Sisil tersebut, lalu dengan sigap kedua orang iyu menuju ke arah pak Yudi. Kevin duduk di depan bersama dengan pak Yudi, sedangkan Sisil sendirian di belakang.

 Awalnya keduanya di belakang semua tetapi pak Yudi meminta supaya Kevin di depan saja agar pak Yudi tidak seperti supir pribadi kedua anak sekolah itu. 

Ketiga orang itu berangkat menuju ke tempat kediaman Ranu. Sesampainya di sana kondisi kosan berwarna orange itu benar-benar kosong. Seperti tidak ada penghuni di dalamnya. Kevin lalu bergegas keluar dari mobil dan memanggil si Ranu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. 

Pak Yudi yang menyaksikan kejadian itu lalu berjalan ke rumah sebelahnya untuk bertanya di mana keberadaan Ranu. 

"Setau saya anak itu sudah beberapa hari ini tidak keluar kamar, sepertinya ia mengurung diri. Bahkan sehari pun hanya sekali kami bertemu itupun di waktu sore sekitaran sehabis Ashar. Karena ia pasti ke warung membeli makanan." Jawab si tetangga. 

"Iya. Dia itu sehabis Ashar pasti ke warung sana, membeli makanan tetapi anehnya makananya itu terus yang dia beli." Jawab tetangga lainnya. 

Mendengar jawaban-jawaban tadi pak Yudi dan kedua murid itu sepakat untuk menunggu Ranu sampai waktu Ashar. Ketiganya menunggu di mobil sembari menikmati makanan ringan dan lantunan musik yang membuat suasana sejuk walaupun di luar sana udara dan terik matahari terlalu tajam memaskan kulit-kulit yang halus nan lembut. 

Beberapa waktu setelah Ashar. Benar perkataan tetangganya Ranu keluar menuju ke warung yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah Ranu kembali lagi ketiga orang tadi bergegas menemuinya. 

Keadaan Ranu saat itu cukup rumit, rambutnya berantakan, muka mulai ditumbuhi jerawat dan kondisi pakaian yang lusuh sepertinya ia tidak ganti dalam beberapa hari. 

Dengan kondisi kebingungan Ranu hanya memasang wajah datar kepada ketiga orang itu. 

"Ranu kenapa?" Tanya pak Yudi. 

"Tidak, pak." Jawabnya singkat. 

"Ayolah bro, kamu sudah lima hari tidak masuk sekolah." Ucap Kevin. 

"Iya nih, udah lama nggak lihat kamu di sekolah. Sebentar lagi kita mau ujian loh." Sambung Sisil merayu. 

"Ranu ada masalah di sekolah?" Pak Yudi memegang pundak Ranu.

"Tidak pak, Ranu hanya ingin bersama ibu saja."

"Tapikan Nu," Belum selesai Kevin berbicara pak Yudi langsung memotongnya. 

"Ranu, ibu kamu sudah bersama orang-orang baik di alam sana. Kamu ikhlaskan ya, doakan ibu kamu semoga diterima di sisi Allah SWT." Ucap pak Yudi penuh lemah lembut dan perhatian. "Kamu mau kan sekolah lagi?" Tanya pak Yudi dengan penuh harapan kepada Ranu. 

"Mau." Satu kata itu keluar dari mulut Ranu langsung. "Tapi aku mau bilang sama ibu dulu." Tanpa basa basi Ranu lalu masuk ke kosannya membawa sebungkus makanan yang ia beli di warung tadi. 

Ketiga orang itu berdiri tercengang dengan sikap Ranu yang mengalami perubahan drastis semenjak kepergian ibunya. 

Keesokan harinya pak Yudi, Kevin san Sisil kembali datang ke tempat Ranu berada, di waktu yang sama dan dengan kondisi Ranu yang tetap sama juga. 
Tidak banyak kata-kata hanya bujukan dan rayuan supaya Ranu bisa ikut kesekolah lagi bersama dengan yang lain. 

Hari demi hari berlalu ketiga orang itu terus berulang kali mengunjungi Ranu. Tetapi hanya itu-itu saja jawaban yang diterima, belum juga ada kehadiran Ranu di sekolah. 

Sampailah pada hari kesepuluh Ranu tidak masuk sekolah, dan itu kesekian kalinya pak Yudi dan kedua murid tadi mengunjunginya. Sesuatu yang membuat mereka percaya akan ada kabar baik kali ini adalah, ketiga orang itu berkunjung tidak hanya dengan tangan kosong melainkan membawa sekantong plastik makanan yang selama ini mereka duga adalah makanan kesukaan Ranu. 

Waktu dan tempat yang telah ditentukan ketiga orang itu telah siap, sebelum Ranu menuju warung ketiganya telah memberhentikannya di perjalanan. Tanpa banyak bicara Sisil yang memegang kantong makanan itu langsung memberikannya kepada Ranu. 

Tangan Ranu refleks menerima pemberian tersebut. 
Dibukanya kantong plastik itu, dan bertapa sumringah wajahnya ketika melihat isi dalam plastik itu. 

"Pendap." Ucap Ranu. 

"Iya itu spesial untuk kamu. Yang terenak dan paling enak di kota ini bahkan seprovinsi Bengkulu, hehe." Jawab Sisil. 

Ranu tersenyum menghadap ke Kevin dan pak Yudi. Senyuman yang sama ketika ia menerima makanan itu sewaktu kecil dari ibunya. 

"Nanti kita makan sama-sama ya." Ajak pak Yudi. 
Ketiganya pun setuju.

Sembari menyantap makanan yang telah tersedia. Pak Yudi amat bahagia ketika melihat Ranu kembali bisa tersenyum lagi. 

"Sebenarnya ada apa Ranu?" Tanya pak Yudi. 

"Ranu sering ingat ibu pak, Ranu selalu merindukan ibu. Entah kenapa beberapa hari ini ibu seperti berada di setiap kesedihan yang Ranu alami. Itulah mengapa Ranu tidak mau sekolah karena takut jauh lagi dengan ibu." Jawabannya tersedu-sedu, walaupun sesekali satu kata terpotong karena tak kuasa menahan air mata, Ranu tetap melanjutkan ceritanya. "Ranu ingin bersama ibu terus, mau ngobrol sama ibu dan selalu menikmati masakan pendap khas ibu."

"Tidak apa, bapak tahu apa yang kamu alami sekarang tidaklah mudah. Sekarang kamu sedang berada di masa sulit karena dilanda kesedihan. Tetapi kasihan ibu kamu di sana jika sekarang kamu malah membuatnya sedih dengan tidak masuk sekolah sama sekali. Padahal ayah kamu sudah susah payah mencari uang untuk biaya pendidikan kamu dan adikmu. Ayolah buat mereka bangga bahwa kamu bisa mencapai apa yang mereka harapkan dan apa yang kamu impikan. Jangan takut merasa kehilangan kamu masih punya ayah yang selalu bekerja keras dan adik yang siap mencontoh kesuksesan kakaknya."

Air mata Ranu terus mengalir tanpa henti. Perkataan dari pak Yudi barusan cukup membuatnys tersentuh. Betapa ia telah menyia-nyiakan waktu yang ada hanya karena kesedihan yang teramat mendalam. 

"Tetap semangat, masih ada teman-teman dan sahabatmu yang menunggu di sekolah. Masih ada guru yang siap membimbing kamu dan juga bisa mejadi bagian dari keluarga di sekolah. Jangan jadikan kesedihan itu beban, selagi kamu mampu lepaskanlah beban itu. Siapkan diri untuk hari esok yang penuh warna." 

Tanpa aba-aba Ranu langsung memeluk pak Yudi dan mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, walaupun ia berada jauh dari keluarga tetapi sekarang ia merasa memiliki keluarga lain yang juga sayang dengannya. 

Selepas itu tidak lupa Ranu pun memeluk sahabatnya Kevin yang sedari tadi turut meneteskan air mata. Dan untuk Sisil, senyuman paling manis serta paling ikhlas yang ia berikan sembari mengambil selembar tissue untuk menyeka air mata yang turut mengalir di pipinya yang memerah.

Terkadang kita dilepaskan sendiri, boleh untuk bersedih hati tetapi ada hal yang tidak boleh kita sia-siakan karena kesedihan yang mendalam. Fase di dalam sebuah ilusi semuanya terasa sama dan tidak tampak terjadi apa-apa padahal aslinya kita adalah orang paling merugi selama fase tersebut tidak diubah. 

Jangan sampai fase ilusi membuat kita merasa tenang berada di zona nyaman terus menerus. Lihatlah sekeliling ada banyak hal yang bisa kita syukuri tanpa harus menjadi orang yang merugi.
Selesai.

----------------------------------------------------------------------------------


Biodata Singkat Penulis

Nama Randi Handika Wijaya, teman-teman sering memanggilku cadel. Saat ini aku sedang menempuh pendidikan di Politeknik Raflesia Rejang Lebong. Sejak SMK aku sering mengikuti beberapa lomba menulis yakni menulis cerpen dan puisi, alhamdulillah beberapa hasil karya sudah tertera di dalam beberapa antologi. Untuk bersillaturahmi mari kunjungi instagram @randicadell dan blog ceritarandi.blogspot.com .

Posting Komentar

0 Komentar