Dia Adalah Ibuku

Juara 2 lomba menulis CERPEN – oleh Randi Handika Wijaya


Desain cover oleh Islamic Study Club

Dia adalah Ibuku

Jam tangan menunjukkan pukul 15:30 WIB. Sore itu Fahri telah berpenampilan rapih siap untuk pergi. Setelan kemeja putih dengan list hitam pada kera bajunya, celana chino cream dan sepasang sneakers. Fahri duduk di atas kendaraannya. Sembari memakai helm fullface warna putih motif berpola hitam kesayangannya.

Brum... Fahri baru saja menghidupkan motornya. Sembari memanaskan kendaraanya itu sejenak. Ia mengecek gawainya membuka pesan yang sedari tadi telah berisi pesan beruntut dari teman-temannya.

"Fahri pakai masker, dan jangan lupa sholat ashar." Teriak sang ibu dari dalam rumah.

"Iya bu." Fahri hanya menjawab. Tetapi tidak sedikitpun memperdulikan dan melaksanakan apa yang dikatakan oleh ibunya barusan.

Fahri pun berangkat mengendarai motor kesayangannya untuk berjumpa dengan teman-teman yang sudah menunggu di sebuah cafe. Di sana Fahri bersama para sahabat-sahabatnya berhahahihi sambil menikmati secangkir kopi dan ngemil makanan ringan. Fahri benar-benar tak menghiraukan apa yang ibunya katakan tadi. Tidak menggunakan masker walau di tempat yang  ramai sekalipun. 

"Sudah hampir sore aja nih, setelah ini kemana kita?" Sahut Fahri memotong obrolan dengan temannya yang sedang asyik bercengkrama.

"Kita ke alun-alun aja, biasanya di sana ada live music." Jawab Adit sambil mengunyah remah kentang goreng yang ada di dalam mulutnya.

"Wah ide bagus." Sahut Reza setuju.

"Fahri, kamu nggak sholat ashar?" Tanya Farhan kepada temannya itu yang sedang sibuk bermain handphone.

"Ah, nantilah kan waktunya masih ada, belum magrib juga kok." Jawab Fahri santai.

"Nanti kalau ibu tahu, kamu bakal kena marah loh." Sambung Reza mengingatkan.

"Iya deh iya nanti." Jawab Fahri lagi datar.

"Terserah kamu ajalah. Sebagai sahabat aku cuma mengingatkan aja, kalau kita berdua sih nggak masalah mengingatkan kamu. Ya, walaupun kami berdua nonmuslim tapi kami tahu ibu kamu ingin anaknya menjadi orang yang baik dan taat beribadah. Tuh kayak si Farhan dia mah nggak perlu diingetin lagi." Sambung Reza pasrah dengan temannya itu. 

"Ah kalian mah udah seperti ibu aja. Iya deh kalian tunggu di sini, aku sholat dulu." Fahri beranjak meninggalkan ketiga temannya itu. Tetapi ia tidak menuju ke mushalla melainkan berjalan ke arah toilet. Disana ia berdiri mematung menyender di depan wastafel di depan sebuah cermin besar yang bingkainya berwarna cokelat dengan lapisan cat yang mulai mengelupas.

Fahri mengeluarkan handphone dari dalam sakunya membuka instagram untuk memastikan ada update terbaru apa hari ini. Setelah ia klik aplikasi tersebut muncul sebuah informasi tentang virus yang semakin lama jadi semakin bahaya, banyak korban yang berjatuhan akibat virus tersebut. Bahkan sampai meninggal.

Covid-19 atau yang disebut virus corona itu kini telah mengeluarkan varian baru yang beritanya sangat ganas. Belum ada obat yang bisa menjadi penawar atas penyakit tersebut hingga saat dan detik ini juga.

Lima menit kemudian setelah merasa jenuh di tempat itu Fahri bergegas berjalan keluar dari toilet tersebut.

"Brak...." Seorang laki-laki berwajah pucat menabrak Fahri. Orang yang menggenakan pakaian berwarna biru tersebut tampak kurang sehat, pria itu menunduk sambil memegang sebuah tongkat pel dan ember berwarna merah. 

"Mmaaf, Mas." Ucap pria tersebut sembari bersalaman dengan Fahri. Fahri hanya terdiam tak berkata apa-apa, celananya sedikit basah akibat tersiram air yang berasal dari ember merah tadi. Tangan pria itu sangatlah dingin.

Setelah lelaki berbaju biru itu meminta maaf ia langsung bergegas pergi memasuki salah satu ruangan kecil yang tak jauh dari sana. Fahri melanjutkan langkahnya untuk menghampiri teman-temannya yang sedari tadi sedang menunggu.

Fahri berjalan santai seolah tak terjadi apa-apa. Wajahnya yang tampan sengaja ia basahkan guna untuk menandakan bahwa ia benar-benar sholat dengan mengambil air wudhu.

"Ini dia nih anak. Buruan, kita mau lanjut jalan lagi nih." Ucap Reza lalu berdiri sambil menyelesaikan kunyahan terakhirnya. Ia bergegas menuju meja cashier untuk melakukan pembayaran.

"Wih, Reza ada angin apa nih? Tumben bayarin kita haha." Sahut Fahri yang baru saja tiba di komplotan pemuda itu.

"Ah, nggak tau aja. Dia kan baru saja gajian dua hari lalu." Timpal Adit menepuk bahu Fahri. 

Setelah pembayaran selesai. Mereka berempat memacu kendaraan masing-masing mengitari jalanan menuju ke alun-alun kota.

Hari semakin gelap. Awan kelabu menutupi cerahnya senja yang setengah jam lalu baru saja menyala. Lampu kuning yang temaram menghiasi jalanan kota petang itu. Orang-orang ramai berlalu lalang dengan kendaraannya. Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup lama empat sekawan itu akhirnya tiba di alun-alun kota. 

Mereka bercengkrama tertawa ria di sebuah bangku panjang berwarna cokelat menikmati indahnya malam bergemerlapan bintang-bintang ditemani dengan alunan melodi musik yang mendayu dari sekelompok remaja dengan bandnya yang meriah.

Tempat itu ramai sekali. Dari orang tua muda hingga anak-anak ada di sana. Tak menghiraukan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah untuk tetap menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Mereka seperti biasa saja dengan keadaan ini, ditengah pandemi yang sedang menghantui. Kurang kesadaran tentang pentingnya menjaga Kesehatan.

Wiu... wiu... Wiu... Suara sirine menggema dari kejauhan. Mobil hitam dengan lampu merah biru diatasnya menuju tempat itu. Fahri dan teman-temannya awalnya santai. Tak perduli dan terlalu menghiraukan orang-orang berseragam itu yang sedang melakukan razia.

Awalnya semua biasa saja tetapi ketika mendengar bahwa razia tersebut adalah pemeriksaan masyarakat yang  akan pentingnya memakai masker. Mendegar hal itu Fahri menjadi panik. Ia sama sekali tidak memakai atau sekedar membawa masker sejak berangkat tadi. Walau hanya untuk jaga-jaga.

Sudah diingatkan oleh ibunya untuk memakai masker tetapi Fahri yang keras kepala tak menghiraukan hal tersebut. 

Sangking paniknya si Fahri memutar pandangannya kesana kemari seperti mencari sesuatu. Terlihat di meja sebelah ada sebuah masker hitam tergeletak tak berpemilik. Dengan sigap Fahri mengambil masker itu lalu memakainya untuk menghindari razia. Tanpa pikir panjang itu milik siapa, bekas apa dan hal-hal buruk yang bisa saja menimpa dirinya.

Tak berlangsung lama razia pun selesai. Para aparat telah pergi jauh. Fahri dan teman-temanny kembali duduk di sana menikmati malam tenang yang tadinya sedikit terganggu karena datangnya orang-orang berseragam itu.

"Parah nih si Fahri. Masker siapalah yang kamu pakai tadi." Ucap Reza menggeleng kepala.

"Ah, bodo amat  punya siapa. Penting aku nggak kena razia. Kan rugi kalau harus bayar 500 ribu buat denda doang." Lagi-lagi Fahri menjawabnya dengan datar. Tidak terlalu memperdulikan apa yang telah dilakukannya tadi.

"Tapi kan itu masker bekas, kalau yang punya positif corona bagaimana?" Sanggah Adit.

"Maskernya masih bagus kok. Mungkin masker baru beli dipakai sebentar eh ketinggalan sama yang punya. Lagian aku juga cuma pakai sebentar doang. Dan maskernya harum juga, kemungkinan yang punya cewek cakep haha." Fahri tidak mau kalah. Ia tetap saja keukeh dengan pendapat teman-temannya yang bahkan sangat perduli dengan dirinya.

"Ya terserah kamu ajalah Fahri." Jawab Adit menimpali lalu memalingkan wajah pasrahnya.

Empat orang tersebut menikmati malam dengan begitu syahdunya. Hingga hari itu semakin terlelap di gelapnya malam.

Saat pulang kerumah. Fahri langsung merebahkan tubuh kurusnya di atas ranjang. Tak melepas pakaian yang masih melekat di badanya.

"Fahri kalau mau tidur mandi dulu. Pakaiannya dilepas lalu masukkin ke dalam mesin cuci." Ucap sang ibu yang tengah berdiri di depan pintu kamar.

"Iya bu sebentar ah masih capek." Jawab Fahri datar. 

"Cepat. Takutnya di pakaian kamu tuh ada virusnya lagi." Ucap ibunya.

"Iya, Bu iya." Jawab Fahri dengan terpaksa.

Setelah si ibu meninggalkan kamarnya. Fahri melepas semua pakaian yang ia kenakan lalu memasukkannya ke dalam mesin cuci. 

Keeseokan paginya. Pakaian yang Fahri kenakan semalam telah dicuci oleh sang ibu. Pakaian itu telah menggantung di jemuran belakang rumah diterpa oleh matahari langsung.

Dari hari ke hari Fahri tetap saja keluar dengan tidak pernah menggunakan masker, tidak perduli dengan yang namanya protokol kesehatan atau orang-orang diluar sana yang sibuk berkampanye dan bersosialisai mengenai virus berbahaya yang melanda negeri saat ini. Kalaupun ia membawa masker hanya menjadi barang terpendam didalam sakunya yang tak pernah keluar hingga berhari-hari.

"Buktinya aku masih sehat-sehat aja." Ucap Fahri dengan sangat sombong suatu ketika ditanya kenapa tidak perduli dengan virus corona yang berbahaya dan mematikan itu.

Hari ini Fahri sibuk dengan aktifitas kantornya. Ia menjadi koordinator sebuah organinasi yang memposisikan ia menjadi seorang leader dan harus menyampaikan sebuah kata sambutan yang cukup panjang sebelum kegiatan dimulai secara resmi. 

Ditengah kata sambutan yang sedang ia sampaikan tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk. Ia tak mengenali nomor tersebut. Fahri yang merasa terganggu langsung menolak panggilan yang baru saja masuk itu. Berulang-ulang kali handphonenya berbunyi tetapi Fahri berulang kali pula me-reject panggilan tersebut.

Hingga akhirnya Fahri benar-benar selesai dengan kata sambutannya. Di balik rasa penasarannya pun melepon balik nomor yang menghubunginya beberapa menit lalu.

"Hallo, dengan siapa ya?"

"Mohon maaf sebelumnya mas Fahri. Saya Dokter Halimah ingin memberitahukan bahwa ibu Azizah sekarang sedang dirawat dirumah sakit Ar-Rahman sekarang."

"Apa. Ibu masuk rumah sakit?" Fahri berteriak kaget. Seluruh hadirin yang ada di tempat itu memalingkan wajah melongo melihatnya yang sedang diambang gelisah. Wajahnya pucat tangannya gemetar, matanya memerah setelah mendapat kabar itu, ia lantas meninggalkan orang-orang diruangan tersebut tanpa permisi dan sepatah katapun. Pikirannya kacau tak karuan.

Fahri mengambil motornya dan melaju dengan kecepatan penuh di tengah ramai dan padat jalanan kota hari itu. Karena keahliannya yang sangat gesit mengelak dari mobil dan kendaraan lain yang memenuhi jalanan itu tidak berselang lama kemudian ia berhasil menerobos macet dan tiba di rumah sakit Ar-Rahman dengan selamat.

Fahri memakirkan kendaraannya dengan sembarang. Tak perduli dengan juru parkir yang memanggil-manggil menyuruh memindahkan motor berwarna merah itu. Fahri berlari mencari di ruangan mana sang ibu sedang dirawat.

Laki-laki berwajah gelisah itu berjalan di lorong rumah sakit. Perasaan panik bergelayut di pikirannya. Tak perduli dengan siapapun yang tak sengaja ia senggol di lorong itu. Di pikirannya hanyalah ibu ibu dan ibu.


"Mas Fahri?" seorang perempuan berpakain putih berkalungkan sebuah stetoskop dilehernya.

"Iya. Dokter Halimah?" Fahri bertanya balik. Melihat nametag yang dikenakan perempuan itu ia yakin bahwa yang dihadapnnya adalah dokter Halimah yang meneleponnya beberapa menit lalu.

"Ibunya mas sekarang sedang tidak bisa diganggu." Ucap Dokter Halimah.

"Kenapa?" Tanya Fahri panik.

"Menurut orang yang membawa ibunya ke sini. Ibu Azizah terkena serangan jantung secara mendadak ketika sedang menyirami bunga di halaman rumah."

Dengan santai dokter itu menarik napas sejenak sebelum memberikan kabar terburuk yang harus Fahri ketahui.

"Saya harap mas tetap tenang. Ibunya mas bukan hanya terkena serangan jantung tetapi juga terinfeksi virus corona." Ucap dokter Halimah.

"Apa corona?" Fahri berteriak seolah tak percaya.

"Masnya yang sabar. Kita berdoa saja semoga ibu Azizah bisa lekas pulih. Untuk saat ini ibunya mas harus diisolasi selama empat belas hari kedepan." Perjelas dokter Halimah.

"Sebelumnya apakah ibu Azizah pernah berhubungan  atau kontak langsung dengan orang yang positif covid19?" Tanya dokter itu.

"Setahu saya tidak pernah, Dok." Jawab Fahri yang masih berwajah panik.

***

Tiga hari berlalu. Fahri menginap di rumah sakit tersebut. Tak hiraukan rumahnya yang entah bagaimana keadaannya sekarang. Sudah tiga hari ini Fahri hanya bisa melihat sang Ibu dari jendela kaca bening yang cukup besar.

Pria itu tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis melihat ibundanya terbaring tak berdaya diatas ranjang putih bermatras biru yang berisikan satu orang perempuan paruh baya itu. Setiap hari perawat keluar masuk ruangan tempat ibunya diisolasi. Mereka menggenakan APD (Alat Pelindung Diri) yang bentuknya seperti jas hujan lengkap dengan kacamata dan sepatu safety berwarna kuning. 

Seminggu berlalu. Keadaan sang ibu masih sama. Belum ada kabar baik dari dokter tentang perkembangan ibunya. Fahri yang putus asa mondar mandir dilorong rumah sakit itu, meski telah dilarang oleh perawat dan dokter untuk berada di sana tetapi ia tetap keukeh ingin terus melihat ibunya walau terhalang oleh kaca. 

Laki-laki yang kehilangan asa itu berjalan tanpa arah. Tiba-tiba ia melihat seorang pria yang pernah bertemu dengannya. "Ah iya aku ingat orang itu. Dia adalah laki-laki yang menabrakku di toilet sewaktu di cafe." Fahri bermonolog sendiri. Memperhatikan dengan pasti wajah seorang lelaki yang sedang terbaring di kamar tepat di samping ruang mawar di tempat ibunya sedang dirawat. 

Menurut penjelasan dokter ternyata laki-laki itu adalah seorang pasien reaktif yang kabur dua minggu lalu dan berhasil di tangkap oleh aparat dan gugus tugas yang sedang keliling insfeksi warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Sampai sekarang pria itu tidak ada perkembangan sama sekali dan belum bisa dinyatakan sembuh.

"Tapi Dok. Kenapa bukan saya saja yang terinfeksi virus itu? Kan saya yang bertatapan langsung dengan pasien tadi." Tanya Fahri yang masih tidak percaya bahwa ibunya telah terpapar oleh virus yang sangat berbahaya itu.

"Setelah kita periksa kemarin mas Fahri tidak ada tanda-tanda sedang sakit atau gelaja sedikitpun. Bahkan imun tubuh mas sangat kuat, itulah sebabnya mas tidak terinfeksi dan dinyatakan nonreaktif." Jelas sang dokter. 

"Kenapa harus ibu saya dok. Kenapa?" Tanya Fahri dengan mata berkaca-kaca dan suaranya yang mulai parau.

"Virus itu bisa menempel di tubuh siapa saja. Tetapi imun lemahlah yang membuat ibunya mas bisa terpapar covid 19. Kemungkinan karena sewaktu mas bertemu dengan pasien tadi mas dan ibu langsung bertatap bicara tanpa jarak. Atau mungkin ibunya mas secara tidak langsung langsung telah memegang pakaian yang mas pakai." 

"Benar dok. Sehari setelah saya bertemu dengan pasien itu pakaian yang  saya kenakan rupanya dibasuh oleh ibu saya, sebab pakaian itu saya taruh di mesin cuci bercampur dengan pakaian lainnya."

"Sekarang kita hanya bisa berdoa. Sebaik-baiknya usaha yang dilakukan oleh manusia sebagai makhlukNya adalah berserah diri. Setelah kita ikhtiar doa lalu tawakal." Ucap dokter Halimah.

"Kamu doakan saja supaya ibu Azizah bisa segera pulih. Dan bisa segera dibawa pulang. Karena doa dari seorang anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua akan cepat terkabul oleh Tuhan yang maha esa." 

Nasihat dokter Halimah barusan mengingatkan tentang dirinya yang tak pernah mendengarkan kata-kata sang ibu, untuk memakai masker atau apa saja yang pernah diucapkan olehnya. 

Tak hanya itu saat ia izin dengan teman-temannya untuk sholat tetapi malah ke toilet bermain handphone pun menjadi sebuah alasan kenapa ia bisa bertemu dengan pasien laki-laki itu.

Apa yang ia lakukan waktu itu sekarang mendapat balasan dari Allah SWT. Balasan yang sangat meremukkan hati si Fahri ketika melihat orang yang dicintainya terbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Tak lagi mengingatkan Fahri untuk senantiasa memakai masker tetapi sekarang ia memakainya sendiri. Tak pernah mengomel ketika Fahri pulang kemalaman tetapi sekarang Fahri tak pernah kemana-mana. Ia senantiasa ada dirumah sakit itu berhari-hari lamanya, jika pun keluar hanya untuk membeli makan ringan dikala perutnya melilit minta diisi. 

Di suatu pagi selesai sholat dhuha. "Ya Allah, Ibu sudah hampir dua minggu terbaring dirumah sakit ini. Beliau tak berdaya ya Allah, jangankan berjalan membuka mata, untuk sekedar melihatku diluar jendela saja tak mampu. Angkatlah penyakitnya ya Allah, hamba tahu jika saja waktu itu mengikuti kata-kata Ibu dan tidak berbohong kepada teman-teman mungkin hamba tidak akan bertemu dengan pasien itu. Hamba mohon ya Allah, sembuhkanlah ibu." Sambil menahan sesak Fahri meneruskan doanya, menadahkan tangan dengan penuh rasa memohon dan bersalah. 


"Hanya ibu yang hamba punya saat ini setelah Engkau mengambil ayah dua tahun silam ya Allah. Hamba mohon ya Allah. Sembuhkanlah ibu hamba. Engkau maha segalanya ya Allah, Engkau yang memberikan sakit dan mempunyai penawar untuk penyembuh dari sakit yang diderita oleh ibu. Sembuhkanlah beliau ya Allah. Alloohummaghfirlii waliwaalidayya warham humma kamaa rabbayaa nii shaghiiraa. Aamiin."

Pertahanan Fahri jebol. Matanya memerah mengalirkan air dengan begitu deras, pipinya basah. Ia menyadari kesalahannya selama ini. Fahri sangat menyesal, karena dialah sang ibu sampai menanggung semua cobaan ini. Sejak hari itu ia berjanji akan selalu berbakti kepada orang tuanya.

Sesungguhnya nasihat dari seorang ibu adalah doa terbaik yang pernah ada. Dan ingatlah sabda nabi Muhammad SAW bahwa kepada siapa kita pertama kali harus berbakti yaitu. Ibumu... Ibumu... Ibumu kemudian ayahmu.

Tak ada yang lebih tulus dari kasih sayang seorang ibu. Ia selalu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Sesungguhnya surga benar ada di telapak kaki ibu dan nasihat serta peringatan yang beliau ucapkan adalah kebaikan yang mungkin tidak kita rasakan pada saat ini. Tetapi suatu hari nanti. 

"Ibu maafkan Fahri yang telah durhaka kepada ibu. Fahri berjanji akan menurut semua perkataan ibu asalkan ibu sembuh." Ucap Fahri sambil duduk meringkuh dengan wajah ditenggelamkan diantara kedua lututnya sembari meneteskan air mata.

"Mas Fahri. Ibunya mas sudah bisa di jenguk secara langsung. Virus yang menempel pada tubuh beliau perlahan melemah dan ibu Azizah juga telah siuman." Ucap dokter Halimah.

Sebuah keajaiban dari untaian doa. Tuhan tidak pernah menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Berita yang benar-benar membuat Fahri bahagia. Fahri pun mengelap pipinya yang basah oleh air mata. Senyum yang dua minggu hilang bagai tertelan bumi sekarang mulai merekah seperti bunga mawar yang baru berkembang. Fahri bisa bertemu dengan sang ibu secara langsung walaupun ia tak bisa menyentuhnya.

"Fahri." Suara renyah keluar dari mulut sang ibu.

"Fahri... Fahri... Fahri..." Berulang kali ibu Azizah mengucapkan nama anaknya. Walau sang ibu sudah siuman tetapi ia tak menyadari jika anaknya sedang berdiri tepat di samping ranjang tempat ia terbaring.

Fahri yang melihat hal itu menjadi sangat sedih. Ia tak kuasa menahan air mata. Seorang yang sangat sayang padanya tengah terbaring tak berdaya di hadapannya. Seorang perempuan yang merawatnya sedari kecil tak pernah meminta imbalan satu apapun. Sekarang beliau tengah merasakan sakit yang tak pernah anaknya rasakan.

"Ya Allah. Andai saja sakit ibuku bisa aku rasakan juga maka izinkanlah ya Allah hamba siap." ucap Fahri sambil meneteskan air matanya.

"Ya Allah. Andai saja waktu dapat kuputar kembali aku ingin sekali menurut semua perkataan ibu dan memeluknya sekali saja. Ya Allah, aku memang manusia paling bodoh tak mengerti akan kasih sayang yang selalu beliau berikan. Bahkan di saat sakitnya pun ia tetap menyebut namaku. Maafkan aku ya Allah. Maafkan aku ibu." Fahri lagi-lagi bermonolog dengan dirinya sendiri. Matanya tak henti mencurahkan air yang sedari tadi terus membasahi pipi.

Fahri ingin sekali memeluk ibunya. Tetapi kata dokter ia tak boleh menyentuh sang ibu sampai benar-benar dinyatakan sembuh dari virus corona.

Sekarang aku sadar. Akan kasih sayang seorang ibu, ia yang membanting tulang mengurusku sejak kecil. Memberikanmu makan di kala kuterbangun dimalam hari. Tak pernah mengeluh ataupun mengucapkan kata-kata kotor ketika aku menggangu tidurnya yang lelap.

Ia adalah ibu yang selalu ada di kala aku sedang sedih. Tak pernah mematahkan semangatku walau nilai yang kudapatkan di sekolah tidak begitu memuaskan. Ia adalah ibu yang selalu sayang kepadaku, tak pernah meminta satu balasan apapun walau aku telah sukses di kemudian hari. Kasih sayangnya tak pernah berkurang walau aku sering melawan dan juga kurang ajar. Dan dia adalah ibuku.

Selesai.

____________________________________________

Randi Handika Wijaya. Sering dipanggil Cadel. Hobi berenang, mendengarkan musik dan traveling. Pria pecinta warna hitam dan putih ini berzodiak capricorn. Beberapa waktu lalu mulai mencintai untuk belajar di dunia literasi sebagai hasilnya ada beberapa cerita yang menanti untuk dibaca. Yuk kepoin selengkapnya di instagram @randicadel1101 dan wattpad @cadelstory. Motto hidup "Follow your life and just be yourself".

Posting Komentar

0 Komentar