Jangan Pernah Berhenti Percaya -- Juara 1 Lomba Cerpen


Jangan Pernah Berhenti Percaya

Juara 1 lomba online  menulis cerpen – oleh Fauziyah Hilwa

Suara ketikan komputer memenuhi ruangan kerjaku. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Di ibu kota, suasana masih terasa ramai. Deru kendaraan di jalanan terdengar samar sampai ruanganku. Sudah biasa. Waktu yang seharusnya digunakan untuk tidur, malah dibuat kerja. Namanya juga ibu kota. Dua puluh empat jam tanpa henti. Termasuk aku, yang lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan di saat orang-orang tidur di atas dipan.

Aku meregangkan tanganku sejenak. Mengembuskan napas perlahan. Layar monitor berkedip-kedip. Perlahan tapi pasti, layar monitor itu menghitam. Mati. Eh? Aku menegakkan badan. Mengetuk CPU yang tersambung ke komputerku. Komputer itu bergeming. Tidak menunjukkan tanda-tanda mau hidup. Aku berdecak sebal. Lagi dan lagi. Sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya. Sudah terhitung tiga atau empat kali komputerku mati. Kalau sudah begitu, pasti segera kubawa ke Pa’i, salah satu kenalanku yang pandai mengotak-atik barang elektronik.

Dering telepon mengalihkan perhatianku. Nomor tak dikenal. Siapa pula kurang kerjaan menelepon dini hari? Aku memandanginya sejenak. Mengambil telepon genggamku, lantas menggeser tombol hijau di layar.

“Kau tidak lupa kan, Sa?” suara nyaring langsung menyapa gendang telingaku. Membuat kaget.

“Pelankan suaramu, Bakar. Kau membuat kaget gendang telingaku. Seharusnya kau mengucapkan kalimat sapaan terlebih dahulu. Basa-basi.”

Bakar di seberang sana tertawa.

“Aku terlalu bersemangat, Sa. Kau tahu? Dalam dua minggu ini, buku terbarumu laku lima ribu eksemplar. Gila, Sa. Ini tidak seperti biasanya. Dua minggu, Sa. Dua minggu. Entah apa yang kau tulis di sana.” dasar Bakar. Sudah kubilang pelan-pelan, tetap saja suaranya keras.

“Oh.” aku menjawab seadanya.

“Astaga! Rela-rela aku meneleponmu dini hari, tapi responmu hanya itu? Oh?”

“Lantas aku harus bagaimana, Bakar? Teriak-teriak? Jungkir-balik? Salto di tempat? Atau bagaimana?”

Bakar mendengus kesal, “Sepertinya itu bukan kabar yang mengejutkan bagimu. Lupakan. Bagaimana kelanjutan novel serialmu?”

“Entahlah. Komputerku mati lagi. Mungkin aku akan membawanya ke Pa’i nanti. Sekitar dua sampai tiga minggu novelnya akan selesai.”

“Astaga. Kau bilang akan menyelesaikannya seminggu lagi, Sa. Bos Bram sudah mengomel sejak kemarin. Marah-marah tidak jelas. Kau tau sendirilah, orang tua itu kalau darah tinginya sudah kumat, pasti dikit-dikit marah. Senggol dikit marah. Sensian. Macam perempuan saja.” Bakar menggerutu.

Aku tertawa. Membayangkan wajah Bang Bram saat marah.

“Kau tidak boleh begitu, Kar. Beruntung Bang Bram menawarimu kerja. Kalau tidak, sampai sekarang kau masih jadi pengangguran. Hidup di ibu kota keras, Kar. Kalau tidak bisa bertahan, ya selesai sudah hidupmu. Baik-baiklah kau sama Bang Bram. Barangkali gajimu akan naik.” aku tertawa pelan.

Bakar berdecak, “Jadi kapan? Dua apa tiga minggu? Kau harus jelas menentukannya, Heksa. Bos Bram akan marah kalau kau melanggarnya lagi.”

“Baiklah. Beri aku dua minggu. Akan kuselesaikan segera novelnya.”

“Oke. Jawaban diterima. Awas saja kau mengundurkan waktunya lagi, Heksa.”

“Aye-aye, Bakar.”

***

 Berpilin. Berputar. Dua puluh tahun silam.

“Di antara Samudra Hindia.”

“Dan Samudra Pasifik.”

“Di antara Benua Asia.”

“Dan Benua Australia.”

“Itulah letak geografis Indonesia.”

Kami berlima tertawa. Iya, kami berlima. Aku, Rey, Ambu, Bakar, dan Maher. Kawan karib sejak kecil.

Hari-hari terakhir ujian kelulusan. Murid-murid kelas enam sibuk belajar. Lapangan yang biasanya ramai anak-anak bermain bola, kini nampak sepi. Mereka yang selain kelas enam, memilih untuk tidak bermain. Menghormati katanya. Padahal jelas-jelas mereka malas bermain karena tidak memiliki lawan yang hebat. Kurang menantang.

Kantin bagian A (khusus kelas enam) hening. Hanya suara dentingan sendok-garpu yang bersentuhan dengan mangkok. Atau suara bolpoin yang menggurat buku tulis. Kepala-kepala sibuk menunduk. Entah itu membaca atau mengerjakan soal. Wajah-wajah serius terlihat. Sesekali ada yang mengembuskan napas keras. Berdecak.

Kedatangan kami membuat kepala-kepala tertoleh. Gara-gara Ambu yang tertawa keras. Mereka ber-sstt, menyuruh kami diam. Aku menunduk sungkan, meminta maaf. Menarik Ambu yang masih saja menahan tawa. Kami berlima duduk di bagian paling pojok. Bukan apa, hanya saja kami sadar diri kalau suara kami keras. Takut mengganggu yang lain.

“Baksonya datang, kawan.” Maher datang membawa nampan berisi lima mangkok bakso. Disusul Bakar yang tergopoh-gopoh membawa nampan es teh.

“Di masa depan, kamu akan menjadi apa?” Rey membawa subjudul sebuah buku. Membuat aku, Ambu, Bakar, dan Maher menoleh. Menatapnya.

Rey mendongakkan kepalanya. Merasa diperhatikan, “Eh? Kenapa kalian semua melihatku? Aku hanya membaca subjudul ini.” Rey mengangkat bahu.

“Suaramu kurang keras, Rey.” dengus Ambu. Menyindir. Maksudnya, jelaslah mereka mendengar, orang Rey ngomongnya keras.

“Bukankah suaramu yang paling keras di sini, Ambu?” aku nyeletuk.

Ambu mendelik. Aku tertawa. Melambaikan tangan.

“Itu buku apa, Rey?” Maher bertanya.

Rey mengangkat buku yang tadi ia baca, “Aku pinjam di perpustakaan kemarin.”

“Jika ada yang bertanya begitu, kalian akan menjawab apa?” Bakar bertanya. Ber-haahh kepedasan.

 Kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Membayangkan.

Ambu menggebrak meja. Membuat kami menoleh. Bukan, bukan cuma kami berlima yang menoleh. Murid-murid di sekitar meja kami juga ikut menoleh. Menatap Ambu tajam. Ambu menyeringai. Tidak merasa bersalah sama sekali.

“Aku akan menjadi nakhoda. Melewati samudra-samudra luas, pulau-pulau panjang, melewati banyak negara. Aku akan meninggalkan kota ini. Pergi jauh, berkeliling dunia.” Ambu bersemangat. Melupakan sejenak bakso yang tadi ia makan. Juga segelas es tehnya.

Bakar berdeham pelan, “Wow, kau bersemangat sekali. Semoga suatu hari nanti kau akan menjadi nakhoda termasyhur di sepanjang pulau ini.”

“Besar nanti kau akan jadi apa, Rey?” Bakar menoleh. Menatap Rey.

Rey gelagapan, “Eh? Aku? Aku ingin menjadi guru saja, menetap di kota ini. Menemani Ibu di rumah. Aku tidak akan pergi jauh dari sini. Karena aku tidak ingin membuat Ibu merasa kesepian di rumah.” Rey tersenyum. Menunduk.

Kami berempat terdiam. Saling tatap. Kami tahu, Rey hanya tinggal bersama ibunya. Rey anak tunggal. Sejak kecil ia sudah ditinggal Ayahnya. Entah kemana perginya. Tidak ada yang tahu.

“Cita-cita kau mulia sekali, Rey. Aku yakin kau akan menjadi guru yang hebat. Membanggakan Ibumu.” Bakar berkata mantap.

Bakar menoleh ke arah Maher, “Kau sendiri mau jadi apa besar nanti?”

“Aku ingin menjadi pengusaha sukses. Yang memiliki toko di mana-mana. Bercabang-cabang.” Maher menjawab singkat.

Bakar mengangguk takzim, “Sekarang yang terakhir. Seseorang yang memiliki mimpi-mimpi besar. Harapan-harapan besar. Nah, kau mau jadi apa, Heksa?”

Aku meneguk sisa es teh terakhir. Mengembuskan napas sejenak, “Tulisan. Aku ingin menjadi tulisan yang bisa menginspirasi jutaan orang.”

Bakar mengerutkan alisnya, “maksudnya, kau ingin jadi huruf-huruf yang ada di buku-buku?”

Maher mendengus, “Bukan, Bakar. Heksa ingin menginspirasi banyak orang. Menjadi penulis.”

“Buat apa kau jadi penulis, Heksa? Kau tidak ingin menjadi orang besar? Maksudku, dalam artian yang bukan sebenarnya. DPR? Gubernur? Atau mungkin presiden? Kurasa kau lebih cocok jadi pejabat dibanding menjadi penulis.” Rey menatapku.

“Astaga. Kenapa kau ingin jadi penulis? Apa yang kau dapatkan dari pekerjaan penulis, Sa? Gaji besar? Duit banyak? Gaji penulis itu tidak seberapa.” Ambu bersungut-sungut. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.

“Bukan tentang seberapa besar gajinya, Ambu. Aku menjadi penulis karena ingin menginspirasi banyak orang. Bukankah tadi aku bilang begitu? Dan Rey, apakah kau pikir pekerjaan pejabat sehebat itu? Hei, sekarang bahkan banyak pejabat-pejabat yang korupsi. Mereka bahkan tak lebih baik dari tikus yang berjalan di gorong-gorong.” aku tidak mau kalah.

“Tapi, Rey dan Ambu benar juga, Sa. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang penulis? Dengan pengetahuanmu sekarang, yang bahkan besok-besok bisa bertambah banyak lagi. Kau bisa menjadi orang besar. Bukan pejabat atau sejenisnya. Kau jadi dokter, misal? Atau arsitek? Bia juga kau jadi polisi.” Maher menambahkan.

Aku terdiam.

“Aku tidak mau punya teman penulis.” Tiba-tiba Bakar nyeletuk. Membuat kami berempat menoleh. Menatapnya.

“Oh god. Kasar sekali omonganmu, Bakar.” Maher menimpali.

“Seorang penulis? Itu hanya tak lebih dari pekerjaan dengan gaji rendahan. Apa yang bisa dibanggakan? Tulisan? Huruf yang berjejer-jejer? Atau apa?” Suara Bakar meninggi. Membuat kepala-kepala tertoleh ke meja kami.

Aku berdiri. Mendorong meja. Tidak terima. “Kau bilang apa? Gaji rendahan? Lancang sekali mulutmu, Bakar. Seorang penulis tidak serendah itu. Tanpa penulis, tidak akan ada buku di dunia ini. Kau tidak bisa membaca. Tidak jadi pintar. Lantas, kau akan jadi apa jika tidak pintar? Akan jadi apa dunia ini tanpa tulisan?” Aku menatapnya tajam.

Bakar terkekeh. Tersenyum miring. Berdiri. Menyurai rambutnya ke belakang, “Dunia akan baik-baik saja. Kau ingat? Zaman pra-aksara? Sebelum orang-orang mengenal tulisan? Nyatanya dunia tetap berjalan dengan semestinya. Siang-malam. Pagi-sore. Tidak aneh. Kau saja yang menganggapnya berlebihan. Terlalu.”

Bel sekolah berdering. Tanda jam istirahat selesai. Satu-persatu murid-murid mulai meninggalkan kantin. Satu-dua menatap kami sejenak. Melangkah pergi. Tidak peduli.

Bakar melangkahkan kakinya. Pergi. Sedetik kemudian, Ambu mengikutinya. Disusul Rey yang melangkah santai. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Maher berdiri. Menatapku sejenak. Melangkah patah-patah. Ikut pergi. Tanganku mengepal. Menatap mereka kesal.

***

Pertengkaran itu berlangsung lama. Berhari-hari.

Setiap kali mereka bertemu denganku, aku memalingkan wajah. Pura-pura tidak melihat. Ambu juga. Jika melihatku dia pasti mengalihkan ke yang lain. Rey kadang masih mengajakku bicara. Seolah-olah kejadian di kantin itu tidak ada sebelumnya. Tapi, aku sudah terlanjur sakit hati. Mengacuhkannya setiap kali dia bicara. Maher yang sering menatapku. Entah itu diam-diam ataupun terang-terangan. Ia masih berharap pertemanan kami kembali lagi. Tapi lagi-lagi aku menolak. Enak saja. Apalagi Bakar. Tidak sudi aku melihatnya.

Besoknya, Pak Seto-wali kelasku, menyuruhku ke ruangannya. Aku membuka pintu kantor guru. Berjalan ke arah meja Pak Seto. Pak Seto yang saat itu sedang menulis, mendongak. Tersenyum.

“Datang juga kau, Heksa.” Pak Seto melepas kacamata yang ia kenakan.

Aku menarik kursi yang ada di depan meja Pak Seto. Duduk di sana, “Ada apa, Pak?”

Pak Seto mencari sesuatu. Membuka nakas kecil di sampingnya. Mengambil sebuah lembaran kertas, “Nah, kemarin kau sudah mendapatkan hadiahnya. Ini adalah sertifikat lomba baca dan cipta puisimu minggu lalu, Heksa. Baru datang tadi pagi.” Pak Seto menyerahkannya kepadaku.

Aku menerimanya senang. Berterima kasih.

“Kau masih bertengkar dengan Bakar? Dengan teman-temanmu?” Pak Seto bertanya.

Aku mendengus kesal. Mangangguk.

Pak Seto terkekeh, “Esok-lusa kau akan tahu, Heksa. Apabila ada dua orang bertengkar, maka setelah pertengkaran itu, bisa jadi mereka akan menjadi sahabat. Karena sejatinya, pertengkaran itu hanyalah selingan kecil untuk memperkuat rasa persahabatan.”

***

Hampir satu bulan aku dan Bakar tidak bertegur sapa. Ambu, Rey, dan Maher, mereka sudah mengajakku bicara. Bersikap normal. Awal-awal kami agak merasa aneh. Berbicara satu-dua patah kata. Tapi lama-lama terbiasa. Kembali seperti semula. Kecuali hubunganku dengan Bakar.

Tapi apa yang diucapkan Pak Seto benar. Hari itu sekolah mengadakan lomba balap lari. Lapangan ramai. Sesak. Murid-murid dari kelas satu sampai enam berdesak-desakkan. Aku, Rey, dan Ambu segera berjalan menuju garis start. Memosisikan diri paling depan. Peluit ditiup kencang-kencang. Tanda perlombaan dimulai.

Adalah dua puluh menit sudah perlombaan itu berjalan. Aku menahan laju lariku. Menyeka keringat di dahi. Ambu dan Rey entah tertinggal berapa meter. Mereka asyik bercengkerama. Bergurau. Dikit-dikit berhenti. Aku yang malas menimpali, memilih untuk terus berlari.

Beberapa menit kemudian, garis finish mulai terlihat. Aku bisa melihat Pak Seto beserta guru-guru lain di sana. Aku tersenyum lebar. Mempercepat lariku.

Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara gedebuk jatuh. Aku menghentikan langkahku. Menoleh ke belakang. Kaget. Bakar jatuh tersungkur. Memegang betisnya, sambil meringis kesakitan. Aku berdiri mematung. Menghitung situasi.

Di belakang, jalanan masih sepi. Belum ada tanda-tanda peserta menyusul. Aku menoleh ke arah garis finish. Baiklah. Aku mengembuskan napas yakin. Berlari kecil menuju Bakar. Mengulurkan tanganku.

“Kenapa?” Bakar mengernyit heran. Wajahnya masih menahan sakit.

“Pegang tanganku. Aku akan menuntunmu sampai garis finish.”

Bakar menggeleng, “Tidak perlu, Sa. Kau lanjutkan saja larimu. Kalau kau membantuku, jalanmu akan melambat. Kau akan tertinggal. Lanjutkan larimu, Sa. Garis finish sudah di depan mata.”

“Dan meninggalkanmu di sini? Itu bodoh, Kar. Aku tidak peduli jika aku tidak menang. Toh, ini juga cuma sekadar permainan. Hanya untuk bersenang-senang. Aku malah akan merasa bersalah jika aku tidak membantumu.” Aku tersenyum. Berjongkok di depan Bakar, “kau naik sini, Bakar.” Menepuk punggungku.

Bakar terdiam. Lantas tersenyum lebar, “terima kasih, Heksa. Sungguh terima kasih.”

Aku berjalan pelan. Tertatih-tatih menuju garis finish. Pak Seto yang pertama kali melihatku berjalan sempoyongan menggendong Bakar, berseru tertahan. Aku sudah tidak kuat lagi. Terduduk di aspal. Napasku tersengal.

Kami menang. Ya, aku dan Bakar. Pak Seto menepuk bahuku. Menatap bangga.

***

Kembali ke masa sekarang. Ruang kerjaku.

Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Melihat fotoku dan Bakar saat memegang piala berdua, di atas nakas. Tersenyum lebar.


Posting Komentar

0 Komentar